Kamis, 24 November 2011

Konservasi Orangutan ( Pongo abelii )


BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
            Tahun demi tahun, selalu terdengar kabar bahwa populasi hewan-hewan langka milik Indonesia selalu berkurang. Seperti yang dialami oleh Orangutan Sumatera. Tak pernah terdengar kabar jumlah populasi meningkat. Lihat saja faktanya, Pada tahun 1990-an, diperkirakan mamalia khas Sumatera ini hidup di hutan Sumatera Utara, tepatnya di Bukit Lawang kira-kira sebanyak 2000-an ekor. Sedangkan jumlah keseluruhannya di Indonesia mencapai angka 7000-an ekor. Sedangkan saat ini, di Bukit Lawang, Langkat, jumlahnya tak sebanyak itu lagi. Turun drastis ke angka 400-an ekor di Sumatera Utara. Atau hanya 20 persen dari jumlah 20 tahun lalu. Kondisi populasinya di seluruh hutan Indonesia pun jauh berbeda. Jumlah keseluruhan saat ini hanya sekitar 2000-an ekor saja. Atau turun 70 persen dari tahun 1990-an. Penyebab menurunnya secara drastis populasi Orangutan Sumatera adalah perambahan hutan oleh pihak-pihak yang tak bertanggungjawab. Akibatnya Orangutan terpaksa keluar dari kawasan hutan dan mati karena tidak bisa bertahan hidup di luar hutan. ( Tribun News.com )
            Orangutan sumatera ( Pongo abelii ) hidup endemic di pulau sumatera, orangutan sumatera menyukai pakan buah – buahan dan juga serangga, buah yang disukai adalah buah beringin dan nangka. Mereka juga makan telur burung dan vertebrata kecil. orangutan sumatera biasanya bersifat lebih social dibandingkan dengan orangutan Kalimantan, karena umumnya orangutan sumatera lebih suka berkumpul dan makan besar di pohon beringin. Rerata jangka waktu kelahiran orangutan sumatera lebih lama daripada orangutan Kalimantan dan merupakan rerata jangka waktu terlama di antara kera besar. Orangutan sumatera melahirkan saat mereka berumur 15 tahun. Bayi orangutan akan dekat dengan induknya selama tiga tahun, dan rata – rata perkiraan umur mereka adalah 50 tahun. ( id. Wikipedia. org )
            Secara alamiah, hewan dan tumbuhan memang akan menjadi langka dan punah. Menurut data Perkumpulan Konservasi Dunia (IUCN),keterancaman punahnya spesies dikarenakan secara alami misalnya letusan gunung berapi dan bencana alam. Namun sekarang, ratusan spesies menjadi langka dan terancam punah setiap tahunnya. Para ahli tegas menyatakan, manusialah penyebabnya. Hal ini memang seharusnya menjadi perhatian kita. Karena ternyata kitalah subjek utama dalam hal perusakan lingkungan hidup kita sendiri. Populasi primata di Indonesia khususnya Owa, Siamang, dan Orangutan berada di ambang kepunahan. Banyak hal yang menyebabkan kelangkaan pada hewan khususnya primata di Indonesia. Antara lain karena adanya perburuan liar, perambahan hutan, pembukaan lahan untuk perkebunan, pembukaan areal tambang yang tidak terkendali, dan perdagangan illegal. Dalam kasus Orangutan misalnya. Perdagangan Orangutan (Pongo abelii ) masih kerap kali terjadi meski sudah ada undang-undang yang melarangnya. Misalnya perdagangan Orangutan dari Kalimantan Barat ke Sarawak, Malaysia. Biasanya pengiriman Orangutan ke Malaysia dilakukan melalui perbatasan Bandau (Kapuas Hulu) dan Lubuk Antu (Sarawak). Biasanya Orangutan yang diselundupkan masih bayi. Orangutan yang berhasil diselundupkan tiap ekornya dijual seharga Rp 475 juta. Data WWF menyebutkan pada tahun 2005 sedikitnya ada 15 ekor Orangutan yang diselundupkan ke Malaysia. Diperkirakan, angka itu tiap tahunnya mengalami penurunan. Karena penjagaan di daerah perbatasan juga semakin diperketat. Jenis orangutan yang sering diperdagangkan antara lain Orangutan Sumatra dan Orangutan Kalimantan. Orangutan Sumatra termasuk dalam kategori Critically Endangered (sangat mungkin punah dalam waktu amat singkat) dan Orangutan Kalimantan termasuk kategori Endangered (mungkin punah dalam waktu dekat, dan jumlahnya lebih banyak dari status Critically Endangered). Orangutan Sumatra (Pongo abelii) adalah yang paling terancam punah. Ia hidup di Pulau Sumatra bagian utara dan barat. Orangutan Sumatra memiliki bulu wajah yang lebih panjang, bila dibandingkan dengan Orangutan Kalimantan. Ia terancam punah karena hutan tempat tinggalnya dirusak untuk perdagangan kayu dan perkebunan kelapa sawit. Jumlahnya kini sekitar 3.000 ekor.
Perdagangan Orangutan ini mungkin sekali menyebabkan punahnya hewan-hewan yang dilindungi. Karena biasanya hewan yang diselundupkan 95% merupakan hasil tangkapan dari alam bebas dan bukan hasil penangkaran. Bahkan lebih dari 20% hewan illegal yang dijual di pasaran , mati akibat sistem pengangkutan yang tidak layak. Oleh karenanya langkah yang diambil oleh pemerintah untuk mencegah kepunahan Orangutan antara lain memperbaiki hutan yang rusak atau menyediakan lahan untuk habitat dan melepaskan kembali orangutan ke alam bebas. Namun akan lebih baik jika penjagaan setiap kawasan diperketat untuk mencegah upaya perdagangan Orangutan. Sejak tahun 1942, Orangutan dinyatakan sebagai satwa dilindungi. Ketetapan itu dikuatkan kembali dengan adanya UU No. 5 tahun 1990. Perburuan dan perdagangan orangutan merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan bisa dihukum penjara maksimum 5 tahun dan denda 100 juta.  Melihat terancamnya kehidupan primata, seharusnya kita mulai sadar untuk tidak lagi bertindak sewenang-wenang atas alam. Dimulai dari kitalah yang harus menghentikan tindakan merusak alam seperti menebang pohon secara illegal untuk eksploitasi, membakar hutan, membuka hutan untuk perkebunan, perdagangan hewan illegal, dan perburuan liar. Karena kita membutuhkan lingkungan untuk hidup secara seimbang demi hidup yang berkelanjutan tanpa perlu saling mengancam kehidupan yang lainnya.
I.2. Tujuan
1. Menginformasikan keadaan populasi orangutan sumatera di kawasan Sumatera Utara 
2. Menginformasikan tentang hal – hal yang menyebabkan kelangkaan orangutan sumatera    di kawasan Sumatera Utara
3.  Menginformasikan langkah – langkah perlindungan yang harus diambil dalam rangka                    menjaga kelestarian orangutan sumatera
I.3. Manfaat
1.      Memberikan informasi bagaimana keadaan populasi orangutan sumatera di kawasan Sumatera Utara
2.      Memberikan informasi tentang hal – hal yang menyebabkan kelangkaan orangutan sumatera di kawasan Sumatera
3.      Memberikan informasi tentang langkah perlindungan orangutan sumatera  untuk menjaga kelestariannya.






BAB II
PEMBAHASAN

II. 1. Spesies Orangutan Sumatera ( Pongo abelii )
            Orangutan sumatera adalah jenis orangutan yang paling terancam diantara dua spesies orangutan yang ada di Indonesia. Dibandingkan dengan saudaranya di borneo , orangutan sumatera mempunyai perbedaan dalam hal fisik maupun perilaku. Spesies yang saat ini bisa ditemukan di propinsi – propinsi bagian utara dan tengah sumatera ini kehilangan habitat alaminya dengan cepat karena pembukaan hutan untuk perkebunan dan pemukiman, serta pembalakan liar.
            Terdapat 13 kantong populasi orangutan di pulau sumatera. Dari jumlah tersebut, kemungkinan hanya tiga kantong populasi yang memiliki sekitar 500 individu dan tujuh kantong populasi terdiri dari 250 lebih individu. Enam dari tujuh populasi tersebut diperkirakan akan kehilangan 10 – 15 % habitat mereka akibat penebangan hutan sehingga populasi ini akan berkurang dengan cepat.
            Menurut IUCN, selama 75 tahun terakhir populasi orangutan sumatera telah mengalami penurunan sebanyak 80%. Dalam kurun waktu 1998 dan 1999, laju kehilangan tersebut dilaporkan mencapai sekitar 1000 orangutan per tahun dan terdapat di ekosistem leuser, salah satu luasan hutan terbesar di bagian utara Sumatera, saat ini populasi orangutan sumatera diperkirakan hanya tersisa sekitar 6.500 – an ekor ( rencana aksi dan strategi konservasi orangutan,  Dephut 2007 ) dan dalam IUCN red list edisi tahun 2002, orangutan sumatera di kategorikan critically endangered atau sudah sangat terancam punah.
            Kebalikan dari orangutan borneo, orangutan sumatera mempunyai kantung pipi yang panjang pada orangutan jantan. Panjang tubuhnya sekitar 1,25 meter sampai 1,5 meter. Berat orangutan dewasa betina berkisar sekitar 30 – 50 kilogram, sedangkan yang jantan sekitar 50 – 90 kilogram. Bulu – bulunya bewarna cokelat kemerahan.
Jantan dewasa umumnya penyendiri sementara para betina sering dijumpai bersama anaknya di hutan. Rata – rata setiap kelompok terdiri dari 1-2 orangutan dan kedua jenis kelamin mempunyai daya jelajah sekitar 2 – 10 kilometer yang banyak bertumpang tindih tergantung pada ketersediaan buah di hutan. Setelah disapih pada umur 3,5 tahun, anak orangutan akan berangsur – angsur independen  dari induknya setelah kelahiran anak yang lebih kecil. Orangutan Sumatera betina mulai bereproduksi pada usia 10 – 11 tahun, dengan rata – rata usia reproduksi sekitar 15 tahun.
            Orangutan sumatera hanya terdapat di hutan pulau Sumatera (Rijksen dan Meijaard 1999). Khususnya, populasi liar yang bertahan saat ini hanya di daerah barat laut pulau itu tepatnya di provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Kedua provinsi ini berlokasi di antara Samudera Hindia di sebelah barat hingga Selat Malaka yang memisahkan daratan Sumatera dari Malaysia di bagian timur. Kedua negara ini juga disekat oleh pegunungan Bukit Barisan yang berjejer di sepanjang pulau Sumatera.
            Pegunungan ini mencapai ketinggian lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut        (m dpl), dengan puncak tertinggi adalah Gunung Kerinci di Sumatera Barat (3.800 m dpl) dan Gunung Leuser (3.404 m dpl) di Aceh dan memberikan suatu pengaruh besar pada pola curah hujan. Daerah bagian barat menerima curah hujan lebih banyak dibandingkan di timur, seperti yang berlaku angin dari laut Indonesia dipaksa menuju ke tempat yang lebih tinggi, mendinginkan lebih cepat dan mengembunkan (kondensasi) uap air, yang kemudian jatuh sebagai air hujan (Whitten et al. 1987 )
         Saat ini hampir semua orangutan sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling selatan sebarannya. Hanya 2 populasi yang relatif kecil berada di sebelah barat daya danau, yaitu Sarulla Timur dan hutan-hutan di Batang Toru Barat. Peta sebaran orangutan sumatera yang merupakan kompilasi terkini (sumber: Wich, dkk draft). Populasi orangutan terbesar di Sumatera dijumpai di Leuser Barat (2.508 individu) dan Leuser Timur (1.052 individu), serta Rawa Singkil (1.500 individu). Populasi lain yang diperkirakan potensial untuk bertahan dalam jangka panjang (viable) terdapat di Batang Toru, Sumatera Utara, dengan ukuran sekitar 400 individu. Data ukuran populasi orangutan di berbagai blok habitat di Sumatera selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkiraan Luas Habitat dan jumlah orangutan di sumatera
No
Unit Habitat
Perkiraan Jumlah Orangutan
Blok Habitat
Hutan Primer (Km 2)
Habitat Orangutan (Km 2)
1
Seulawah
43
Seulawah
103
85
2
Aceh Tengah Barat
103
Beutung
Inge
1297
352
261
10
3
Aceh Tengah Timur
337
Bandar - Serajadi
2117
555
4
Leuser Barat
2508
Dataran tinggi kluet
Gunung Leuser
1209

1261
934

594
5
Sidiangkat
134
Puncak Sidiangkat
303
186
6
Tripa Swamp
280
Rawa Tripa (Babahrot)
140
140
7
Trumon - Singkil
1500
Rawa Trumon Singkil
725
725
8
Rawa Singkil Timur
160
RawaSingkil Timur
80
80
9
Batang Toru Barat
400
Batang Toru Barat
600
600
10
Sarulla Timur
150
Sarulla timur
375
375

Distribusi Geografis dan Variasi Kepadatan
            Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada 1.000 m dpl. Kepadatan orangutan, baik di Sumatera maupun di Kalimantan, menurun drastis dengan bertambahnya ketinggian dari atas permukaan laut. Meskipun ada laporan yang menyatakan individu jantan soliter Sumatera dapat ditemukan sampai ketinggian 1.500 m dpl, sebagian besar populasi orangutan dijumpai jauh di bawah ketinggian itu, yaitu di hutan rawa dan dataran rendah. Sayangnya, tipe-tipe hutan itulah yang menjadi target utama pembangunan industri kehutanan dan pertanian, sehingga tidak mengherankan jika konflik antara manusia dan orangutan juga paling sering terjadi di sana.
            Distribusi orangutan lebih ditentukan oleh faktor ketersediaan pakan yang disukai daripada faktor iklim. Orangutan termasuk satwa frugivora (pemakan buah), walaupun primata itu juga mengkonsumsi daun, liana, kulit kayu, serangga, dan terkadang memakan tanah dan vertebrata kecil. Hingga saat ini tercatat lebih dari 1.000 spesies tumbuhan, jamur dan hewan kecil yang menjadi pakan orangutan. Kepadatan orangutan di Sumatera dan Kalimantan bervariasi sesuai dengan ketersediaan pakan. Densitas paling tinggi terdapat di daerah dataran banjir (flood-plain) dan hutan rawa gambut. Di Borneo terdapat 4 lokasi yang memiliki densitas rata-rata 2,9 ± 0,5 individu per Km2 . Sementara itu, di Sumatera terdapat 3 lokasi dengan densitas rata-rata 6,2 ± 1,4 individu per Km2. Daerah alluvial merupakan daerah dengan densitas tertinggi kedua, dengan 6 lokasi di Borneo yang memiliki rata-rata densitas 2,3 ± 0,8 individu per Km2 , dan 3 lokasi di Sumatera dengan rata-rata densitas 3,9 ± 1,4 individu per Km2. Di hutan perbukitan, orangutan ditemukan dalam densitas yang jauh lebih rendah dibandingkan kedua tipe hutan yang telah disebutkan sebelumnya (di Borneo rata-rata densitas 0,6 ± 0,4 individu per Km2 dan di Sumatera rata-rata 1,6 ± 0,5 individu per Km2).


II.2. Ancaman dan hal – hal yang menyebabkan kelangkaan Orangutan Sumatera   
            Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan di dalamnya. Selama periode tahun 1980-1990, hutan Indonesia telah berkurang akibat konversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan permukiman, kebakaran hutan, serta praktek pengusahaan hutan yang tidak berkelanjutan. Pengembangan otonomi daerah dan penerapan desentralisasi pengelolaan hutan pada 1998 juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab peningkatan laju deforestasi di Indonesia. Pembangunan perkebunan dan izin usaha pemanfaatan kayu yang dikeluarkan pemerintah daerah turut berdampak terhadap upaya konservasi orangutan. Semenjak desentralisasi diimplementasikan sepenuhnya pada tahun 2001, sebagian tanggungjawab pengelolaan kawasan hutan diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemberian izin HPH 100 Hal yang terjadi pada tahun 2001-2002 dengan pola tebang habis menyebabkan pengelolaan hutan semakin sulit. Sementara itu perencanaan tata guna lahan seringkali tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dan konservasi sumberdaya alam. Ini terlihat dari meningkatnya jumlah pengusahaan hutan dan izin konversi hutan. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi area penggunaan lain (APL) yang dilakukan tanpa mentaati peraturan perundangan yang berlaku berperan sangat besar terhadap penyusutan populasi dan habitat orangutan. Perubahan penggunaan lahan umunya tidak mempertimbangkan faktor ekologi dan konservasi. Pertemuan yang diselenggarakan di Berastagi dan Pontianak telah mengidentifikasi berbagai ancaman yang berpotensi meningkatkan risiko kepunahan orangutan di Sumatera dan Kalimantan. Hasil dialog dengan berbagai pihak yang hadir di kedua pertemuan tersebut juga menyepakati berbagai intervensi yang harus dilakukan untuk menyelamatkan orangutan. Ringkasan jenis dan tingkatan ancaman yang teridentifikasi oleh para pihak yang hadir di pertemuan Berastagi dan Pontianak dapat dilihat pada Tabel 2.













Tabel 2. Ancaman Terhadap Orangutan Di Indonesia

No
Ancaman
Tingkat Ancaman
Dampak Utama
Kemungkinan Pengelolaan
1
Tekanan Populasi Penduduk
Sedang
Degradasi Sumber Daya, Kepunahan Spesies khususnya akibat perburuan, Peningkatan erosi, Gangguan siklus hidrologi
·         Mencegah Migrasi Ke Taman Nasional
·         Membatasi / mengatur pemanfaatan sumber daya
·         Membuat insentif untuk pindah keluar
·         Mengurangi perambahan
2
Perubahan Landuse – tata guna lahan
Tinggi
Degradasi dan kerusakan sumber daya, kepunahan spesies, kehilangan fungsi hutan
·         Melarang perubahan lahan (landuse) yang jadi habitat orangutan
·         Penyediaan alternative mata pencaharian
·         Mendorong ada peraturan daerah yang mengakomodir tentang habitat orangutan, dengan membangun kawasan konservasi daerah di APL
3
Kebakaran Hutan
Tinggi
Degradasi Habitat dan kematian orangutan
·         Pendidikan konservasi
·         Pencegahan dan Penanggulangan kebakaran
·         Rescue dan translokasi
4.       
Pertambangan
Sedang
Perubahan dan degradasi habitat
·         Mendorong adanya aturan yang melarang pertambangan pada kawasan yang menjadi orangutan
5
Penegakan aturan yang lemah
Sedang
Penebangan hutan dan perburuan tinggi
·         Ada forum yang akan memonitor kegiatan penegakan aturan
·         Ada aturan dan kebijakan pengelolaan orangutan di luar kawasan konservasi
6
Penebangan hutan
Tinggi
Habitat orangutan berkurang, perubahan vegetasi dan penurunan populasi
·         Menyusun pedoman penerbangan di areal yang ada orangutan
·         Pengembangan kawasan konservasi daerah
7
Perburuan / Perdagangan Illegal
Tinggi
Kepunahan spesies, perubahan struktur komunitas
·         Melarang perburuan
·         Patroli pengamanan
·         Pendidikan
·         Penyediaan alternatif ekonomi
·         Penegakan aturan

Ancaman
            Ancaman terhadap populasi orangutan sumatera mencakup hilangnya habitat hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, pembukaan jalan, legal dan illegal loging, kebakaran hutan dan perburuan.
            Habitat orangutan di sumatera menghilang dengan sangat cepat. Di sumatera utara, diperkirakan tutupan hutan telah berkurang dari sekitar 3,1 juta hektar di tahun 1985 menjadi 1,6 juta hektar pada tahun 2007. Sebaran orangutan di masa yang lalu diperkirakan hingga ke sumatera barat. Tetapi saat ini sebaran orang hutan di sebaran aslinya hanya terdapat di aceh dan sumatera utara, serta areal reintroduksi orangutan di perbatasan jambi dan riau.
            Sebuah rencana untuk membangun jalan besar yang melalui ekosistem leuser dibagian utara sumatera saat ini mengancam habitat orangutan. Jalan raya ini setidaknya akan memotong ekosistem leuser di Sembilan tempat dan unit – unit habitat tambahan orangutan di bagian utara yang lebih jauh. Diperkirakan jika jalan raya tersebut dibuat melintasi kawasan hutan, penebangan liar pun akan semakin meluas, biasanya diikuti dengan pembangunan pemukiman penduduk sehingga meningkatkan ancaman terhadap habitat orangutan sumatera.
            Meskipun telah dilindungi oleh hokum di Indonesia sejak 1931, perdagangan liar oranagutan untuk dijadikan hewan peliharaan merupakan salah satu ancaman terbesar bagi satwa langka ini. Saat ini di beberapa lokasi di Sumatera Utara dilaporkan telah terjadi konflik antara orangutan dengan manusia akibat adanya pembukaan hutan alam untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di habitat atau wilayah jelajah orangutan, akibat fatal biasanya menimpa orangutan.
a.        Kehilangan Hutan
Kecenderungan peningkatan deforestasi akhir-akhir ini tidak khusus di Sumatra saja, tetapi juga diamati terjadi dengan tingkat yang tinggi di seluruh Indonesia, dimana deforestasi tahunan untuk periode 1990-2000 mencapai 1,75%, kemudian menurun untuk periode 2000-2005 menjadi 0,31% dan meningkat kembali pada periode 2005-2010 menjadi 0,71% (FAO 2010). Apabila hanya habitat orangutan yang paling penting diamati, yakni hutan di bawah 1.000 m dpl, maka untuk periode 1985 - 2007 laju kehilangan bahkan lebih tinggi yakni sebesar 28% dan 49%. Apabila hanya hutan yang paling kaya spesies (di bawah 500 m dpl) yang diamati, maka kehilangan hutan antara 1985 dan 2007 adalah 36% untuk Aceh dan 61% untuk Sumatera Utara. Untuk rawa gambut yang kaya karbon kehilangan hutan adalah 33% untuk Aceh dan 78% untuk Sumatera Utara
b.      Pembangunan jalan
Pembangunan infrastruktur transportasi di Sumatra, terutama jalan, dilihat oleh banyak orang di Indonesia sebagai prasyarat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Saroso 2010), tetapi juga salah satu ancaman paling serius terhadap habitat orangutan sumatera dan kemandirian populasi liar yang tersisa. Pembuatan jalan baru membuka akses ke daerah-daerah yang sebelumnya tidak dapat diakses dan mengarah pada perluasan aktivitas manusia di sepanjang jalan itu. Dengan memfasilitasi pergerakan manusia ke daerah baru, maka jalan itu langsung mengakibatkan kegiatan merusak seperti perburuan, penebangan dan pembukaan lahan untuk pertanian. Hutan mengalami fragmentasi dan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, dan karena itu spesies seperti orangutan yang tinggal di dalam hutan tersebut populasinya menjadi lebih kecil dan lebih kecil lagi sehingga tidak cukup populasinya untuk bertahan dalam jangka panjang.
c.       Ekspansi Perkebunan
Areal hutan dataran rendah, di mana sebagian besar orangutan sumatera ditemukan, juga merupakan lahan yang sangat cocok untuk pengembangan perkebunan, terutama untuk tanaman perkebunan seperti coklat, kelapa sawit dan karet. Dari berbagai komoditas tersebut, perkembangan pesat perkebunan kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir ini mungkin merupakan ancaman tunggal terbesar bidang perkebunan terhadap kelangsungan hidup orangutan karena ekspansinya yang cepat (Dros 2003; Koh dan Wilcove 2007; Murdiyarso et al. 2010). Pembentukan banyak perkebunan telah mengakibatkan kerugian yang signifikan pada habitat orangutan, karena dalam pengembangannya ditempuh melalui konversi hutan dan bukan dengan memanfaatkan lahan yang telah mengalami deforestasi, seperti dengan memanfaatkan lahan perkebunan yang sudah ada atau menggunakan lahan yang saat ini bernilai rendah.
d.      Perburuan, penangkapan dan perdagangan orang utan untuk hewan peliharaan
Ketika orangutan pergi ke daerah pemukiman penduduk untuk mencari makanan dari tumbuh – tumbuhan di sekitar pemukiman penduduk, maka orang utan tersebut akan diburu dan ditangkap oleh masyarakat sekitar, sementara untuk orangutan yang masih kecil akan diperdagangkan dan dijadikan hewan peliharaan, selain itu perburuan orangutan untuk dimakan merupakan hal biasa yang dilakukan.
II. 3. Upaya Konservasi Dan Perlindungan Orangutan Sumatera
Penyelamatan (rescue), rehabilitasi, dan reintroduksi
            Peluasan kawasan pertanian, perkebunan, industri, pertambangan dan pemukiman tentu saja berdampak pada semakin sempitnya tempat hidup dan ruang gerak orangutan di habitat alaminya. Tidak mengherankan jika tingkat kejadian konflik antara manusia dan orangutan di berbagai lokasi di Sumatera dan Kalimantan meningkat drastis selama beberapa tahun terakhir ini. Sampai 2007 terdapat sekitar 1.200 orangutan Kalimantan di tiga (3) pusat rehabilitasi orangutan di Kalimantan, yaitu Wanariset-Samboja di Kalimantan Timur, serta Nyaru Menteng (Palangka Raya) dan Pasir Panjang (Pangkalan Bun) di Kalimantan Tengah. Selain di Kalimantan, terdapat sekitar 16 orangutan sumatera di pusat karantina Batu Mbelin, Sibolangit, Sumatera Utara. Besarnya jumlah orangutan yang berada di pusatpusat rehabiltasi menunjukkan bahwa ancaman perburuan, perdagangan, konversi lahan, kepemilikan illegal orangutan masih sangat besar.
            Salah satu langkah yang dapat diambil untuk mengurangi konflik adalah dengan merelokasi orangutan ke lokasi baru yang diperkirakan lebih aman dan mempunyai daya dukung yang cukup untuk menjamin keberlangsungan populasi orangutan di tempat itu. Relokasi memerlukan biaya tidak sedikit, yang meliputi tindakan penyelamatan di lokasi konflik (rescue), proses rehabilitasi, pencarian lokasi baru, dan pemindahan orangutan ke tempat baru (reintroduksi). Untuk itu, diperlukan kerjasama dari semua pihak yang terlibat untuk mengatasi persoalan konflik. Hal terpenting yang perlu dipahami dan disadari adalah, bahwa konflik dapat dihindari dan dicegah dengan pengelolaan kawasan yang memperhatikan unsur ekologi dan tingkah laku orangutan. Melalui pengelolaan yang tepat, seperti sistem zonasi yang dibatasi penghalang alami, pembuatan koridor, dan pengayaan habitat, para pihak dapat menjadikan relokasi sebagai pilihan terakhir dalam upaya mereka meredakan konflik dengan orangutan. Untuk mengetahui lebih lanjut tindakan yang perlu diambil oleh para pengelola kawasan (pemerintah daerah, HPH, HTI, perkebunan dan pertambangan) di lokasi konflik, Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Penanggulangan Konflik dapat dijadikan acuan.
            Sebagian besar orangutan yang berada pada pusat rehabilitasi berasal dari proses penyitaan yang dilakukan Balai Konservasi dan Sumberdaya Alam (BKSDA) terhadap masyarakat yang memelihara dan memperjualbelikan satwa itu. Selain itu, dengan meningkatnya konflik yang terjadi semakin banyak pula orangutan yang diselamatkan dari lokasi konflik dan ditempatkan di pusat rehabilitasi. Sebagian kecil lainnya berasal dari masyarakat yang menyerahkan secara sukarela orangutan peliharaannya, setelah mereka mengetahui bahwa kepemilikan satwa liar yang dilindungi itu merupakan tindakan melanggar hukum, selain berpotensi menjadi sumber penyakit bagi keluarga.
            IUCN Guidelines for the Placement of Confiscated Animals merekomendasikan tiga pilihan yang dapat diterapkan terhadap orangutan hasil penyitaan atau hasil proses rescue dari daerah konflik. Pilihan terbaik adalah dengan mengembalikan orangutan ke habitat alaminya atau reintroduksi, setelah satwa tersebut melewati proses rehabilitasi untuk memulihkan kondisi fisik dan tingkah lakunya. Rehabiltasi menjadi proses yang sangat penting mengingat banyak orangutan hasil penyitaan dan penyelamatan menderita berbagai penyakit menular, seperti hepatitis B dan tuberkulosis (TBC), yang dapat berdampak buruk bagi populasi liar lainnya. Akan tetapi, program rehabilitasi memerlukan biaya yang besar dan bukan menjadi pilihan yang berkelanjutan untuk jangka panjang. Oleh karenanya, program penyadartahuan dan penegakan hukum tetap merupakan upaya preventif terpenting dalam konservasi orangutan. Pilihan lain yang direkomendasikan oleh IUCN adalah melakukan euthanasia terhadap orangutan hasil penyelamatan dan penyitaan yang diketahui menderita penyakit TBC akut yang tidak dapat disembuhkan. Rekomendasi itu dikeluarkan oleh The Veterinary Working Group dan the Rehabilitation and Reintroduction Group pada Orangutan Conservation and Reintroduction Workshop tahun 2002 sebagai pilihan untuk mengurangi risiko penularan penyakit kepada populasi orangutan yang sehat dan manusia yang terlibat di dalam program rehabilitasi. Tentu saja, euthanasia harus dilakukan dengan mempertimbangkan rasa sakit, penderitaan dan menurunnya kualitas hidup orangutan, serta setelah semua alternatif lain diputuskan tidak dapat dijalankan.

Konservasi eksitu
            Jumlah orangutan yang berada di kebun binatang atau taman margasatwa dan taman safari di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 203 individu (Laporan Seksi Lembaga Konservasi, 2007). Standar operasional minimum untuk kebun binatang (zoo minimum operating standards) di Indonesia telah ada dan menjadi keharusan bagi anggota PKBSI (Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia) untuk ditaati. Tetapi proses monitoring dan evaluasi terhadap kebun binatang belum berjalan baik menyebabkan banyak anak orangutan yang dilahirkan di sana tidak mencapai usia dewasa. Kebun binatang dan taman safari di Indonesia diharapkan bisa lebih berperan dalam konservasi orangutan, dengan lebih meningkatkan program pendidikan dan penyadartahuan masyarakat dan tidak berorientasi bisnis semata. Selain itu, praktik pemeliharaan (husbandry) di seluruh kebun binatang yang ada di Indonesia perlu ditingkatkan dan dievaluasi secara teratur oleh PKBSI dengan melibatkan para ahli untuk menjamin kualitas pelaporan dan transparansi.
            Laporan dari International Studbook of Orangutan in World Zoos (2002) mencatat 379 orangutan borneo, 298 orangutan sumatera, 174 orangutan hibrid, dan 18 orangutan yang tidak diketahui atau tidak jelas asal-usulnya dipelihara di berbagai kebun binatang seluruh dunia. Perlu dicatat bahwa jumlah itu hanya berasal dari kebun binatang yang memenuhi permintaan data dari pemegang studbook yang ditunjuk, sehingga ada sejumlah orangutan lainnya tidak tercatat dan diketahui pasti jumlahnya. Selain membuat kebijakan yang mengatur pengelolaan populasi orangutan di kebun binatang dan taman safari, pemerintah juga sebaiknya mengembangkan sistem pendataan nasional yang diperlukan untuk memantau keberadaan populasi orangutan di berbagai kebun binatang dan taman safari di Indonesia.
Meningkatkan pelaksanaan konservasi insitu sebagai kegiatan utama penyelamatan orangutan di habitat aslinya
            Konservasi insitu merupakan kegiatan pelestarian orangutan di habitat aslinya. Strategi bertujuan agar semua pemangku kepentingan bekerjasama memantau pengelolaan konservasi orangutan dan habitatnya. Pemantapan kawasan, pengembangan koridor, realokasi kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) menjadi areal konservasi merupakan beberapa aktivitas yang bisa dilakukan untuk penyelamatan orangutan di habitatnya. Perlindungan habitat menjadi dasar utama bagi pengelolaan konservasi insitu orangutan. Salah satu penyebab hilangnya habitat orangutan adalah perencanaan tata ruang yang kurang baik. Program konservasi orangutan membutuhkan kawasan hutan yang ada saat ini tetap sebagai kawasan hutan dan tidak dikonversi untuk penggunaan lain. Ini akan sangat membantu mengurangi tekanan kepada orangutan yang populasinya sudah sangat terancam punah (orangutan sumatera) dan terancam punah (orangutan kalimantan). Alokasi hutan sebagai habitat bisa dilakukan pada tingkat tata ruang kabupaten, propinsi maupun di tingkat nasional. Pemangku kepentingan dalam penyusunan tata ruang di tingkat kabupaten dan propinsi seharusnya mengalokasikan ruang untuk habitat orangutan. Habitat orangutan djumpai di kawasan konservasi, hutan produksi, hutan lindung dan juga di kawasan budidaya non kehutanan. Penelitian menunjukkan bahwa 75% dari orangutan liar dijumpai di luar kawasan konservasi, kebanyakan di kawasan hutan produksi yang dikelola oleh HPH/HTI dan atau hutan lindung. Orangutan akan bisa bertahan hidup di areal kerja HPH yang dikelola dengan baik, tetapi tidak begitu banyak yang dapat bertahan pada daerah hutan tanaman. Disamping itu, habitat orangutan juga banyak yang berada pada kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) dimana kawasan ini relatif lebih mudah untuk dikonversi ke penggunaan lain, seperti perkebunan, pemukiman dan lainnya. Oleh karena itu, dunia usaha juga harus dilibatkan dalam upaya pengelolaan konservasi orangutan sehingga dampak akibat pembangunan baik di sector kehutanan maupun di luar kehutanan terhadap orangutan dapat diminimalisir.
Translokasi
            Pada kondisi dimana aktivitas ekonomi menyebabkan terjadinya pengrusakan habitat dan orangutan tidak bisa pindah atau menyelamatkan diri dari proses pembangunan tersebut maka translokasi menjadi pilihan terakhir. Pilihan ini akan diambil bila pilihan lain untuk mempertahankan orangutan di habitatnya sudah tidak bisa dilakukan lagi. Untuk menghindari ini terjadi, akan lebih efisien jika survei tentang satwa langka, jarang dan dilindungi dilakukan dengan baik sebelum melakukan pembangunan sehingga aktivitas translokasi tidak perlu dilakukan.
            Translokasi merupakan proses pemindahan orangutan liar sehat dari habitatnya yang rusak ke habitatnya yang baru, yang lebih aman dan lebih baik. Habitat baru ini diharapkan akan dapat mendukung hidupnya dalam jangka panjang. Translokasi memerlukan biaya tinggi dan untuk itu dibutuhkan adanya aturan yang menjelaskan persoalan biaya terkait translokasi. Banyaknya konversi habitat (hutan) untuk peruntukan lain menjadi penyebab banyaknya orangutan yang ditangkap oleh masyarakat. Pada banyak kasus, satwa-satwa ini dapat disebut sebagai “pengungsi”, karena habitat mereka memang sudah tidak ada lagi. Selain akibat konversi lahan, kebakaran hutan juga menjadi penyebab penting adanya orangutan “pengungsi”. Orangutan “pengungsi” harus diselamatkan (rescued) ke pusat rehabilitasi serta secepatnya di translokasi ke habitat yang masih baik. Namun hal ini bukan merupakan penyelesaian masalah jangka panjang pada konservasi orangutan. Kedepannya, perlindungan habitat harus menjadi prioritas dalam konservasi orangutan.


Mengembangkan dan mendorong terciptanya kawasan konservasi daerah berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, tata ruang wilayah, status hukum dan kearifan masyarakat
            Salah satu undang-undang yang sangat penting dalam perlindungan spesies, termasuk orangutan adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, termasuk turunannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Selain itu, undang-udang lain yang juga sangat penting terkait dengan perlindungan habitat orangutan adalah UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Habitat orangutan berada di kawasan konservasi, kawasan hutan produksi dan kawasan budidaya non kehutanan. Perlu ada dorongan kebijakan di semua level untuk mendukung pelestarian orangutan di habitat alami. Dorongan kebijakan yang sudah mengadopsi kekhasan daerah antara lain adalah mewujudkan adanya kawasan konservasi daerah pada kawasan KBNK. Pola ini diharapkan sudah memenuhi unsur kekhasan, kearifan lokal, faktor ekologi dalam penataan ruang mikro dan peran serta dukungan pemerintah daerah atau masyarakat. Kebijakan ini juga menjadi bukti peran dan dukungan pemerintah daerah dalam konservasi orangutan. Kawasan konservasi juga perlu kepastian hukum, untuk itu perlu ada penguatan secara legal. Kepastian ini akan mempermudah implementasi pengelolaan habitat dan spesies sesuai dengan rencana aksi, khususnya penegakan aturan konservasi.

















BAB III
KESIMPULAN

1.      Orangutan Sumatera merupakan satu spesies tersendiri yang dikenal sebagai Pongo abelii, sedangkan Orangutan Kalimantan terbagi menjadi 3 sub-spesies yaitu Pongo pygmaeus-pygmaeus, Pongo pygmaeus wurmbi, dan Pongo pygmaeus morio.
2.      Orangutan Sumatera merupakan salah satu spesies yang masuk dalam kategori terancam punah (critically endangered).
3.      Orangutan Sumatera saat ini hanya dapat dijumpai secara alami di bagian utara Pulau Sumatera, meskipun saat ini sedang dilakukan upaya reintroduksi orangutan Sumatera di Jambi. Sedangkan orangutan Kalimantan tersebar di seluruh pulau Kalimantan
4.      Terdapat 13 kantong populasi orangutan di pulau sumatera. Dari jumlah tersebut, kemungkinan hanya tiga kantong populasi yang memiliki sekitar 500 individu dan tujuh kantong populasi terdiri dari 250 lebih individu. Enam dari tujuh populasi tersebut diperkirakan akan kehilangan 10 – 15 % habitat mereka akibat penebangan hutan sehingga populasi ini akan berkurang dengan cepat.
5.      Saat ini hampir semua orangutan sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling selatan sebarannya. Hanya 2 populasi yang relatif kecil berada di sebelah barat daya danau, yaitu Sarulla Timur dan hutan-hutan di Batang Toru Barat
6.      Penyebab kelangkaan dari orangutan sumatera antara lain : kehilangan hutan, pembangunan jalan, ekspansi perkebunan, perburuan liar dan penangkapan oleh penduduk sekitar dengan tujuan pemeliharaan pribadi.
7.      Langkah konservasi yang dilakukan antara lain : Penyelamatan (rescue), rehabilitasi, dan reintroduksi, konservasi eksitu dan insitu, translokasi dan penegakan hukum.