BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Tahun demi
tahun, selalu terdengar kabar bahwa populasi hewan-hewan langka milik Indonesia
selalu berkurang. Seperti yang dialami oleh Orangutan Sumatera. Tak pernah terdengar
kabar jumlah populasi meningkat. Lihat
saja faktanya, Pada tahun 1990-an, diperkirakan mamalia khas Sumatera ini hidup
di hutan Sumatera Utara, tepatnya di Bukit Lawang kira-kira sebanyak 2000-an
ekor. Sedangkan jumlah keseluruhannya di Indonesia mencapai angka 7000-an ekor.
Sedangkan saat ini,
di Bukit Lawang, Langkat, jumlahnya tak sebanyak itu lagi. Turun drastis ke
angka 400-an ekor di Sumatera Utara. Atau hanya 20 persen dari jumlah 20 tahun
lalu. Kondisi
populasinya di seluruh hutan Indonesia pun jauh berbeda. Jumlah keseluruhan saat
ini hanya sekitar 2000-an ekor saja. Atau turun 70 persen dari tahun 1990-an.
Penyebab menurunnya
secara drastis populasi Orangutan Sumatera adalah perambahan hutan oleh
pihak-pihak yang tak bertanggungjawab. Akibatnya Orangutan terpaksa keluar dari
kawasan hutan dan mati karena tidak bisa bertahan hidup di luar hutan. ( Tribun
News.com )
Orangutan sumatera ( Pongo abelii ) hidup endemic di pulau
sumatera, orangutan sumatera menyukai pakan buah – buahan dan juga serangga,
buah yang disukai adalah buah beringin dan nangka. Mereka juga makan telur
burung dan vertebrata kecil. orangutan sumatera biasanya bersifat lebih social
dibandingkan dengan orangutan Kalimantan, karena umumnya orangutan sumatera
lebih suka berkumpul dan makan besar di pohon beringin. Rerata jangka waktu kelahiran
orangutan sumatera lebih lama daripada orangutan Kalimantan dan merupakan
rerata jangka waktu terlama di antara kera besar. Orangutan sumatera melahirkan
saat mereka berumur 15 tahun. Bayi orangutan akan dekat dengan induknya selama
tiga tahun, dan rata – rata perkiraan umur mereka adalah 50 tahun. ( id.
Wikipedia. org )
Secara
alamiah, hewan dan tumbuhan memang akan menjadi langka dan punah. Menurut data
Perkumpulan Konservasi Dunia (IUCN),keterancaman punahnya spesies dikarenakan
secara alami misalnya letusan gunung berapi dan bencana alam. Namun sekarang,
ratusan spesies menjadi langka dan terancam punah setiap tahunnya. Para ahli
tegas menyatakan, manusialah penyebabnya. Hal ini memang seharusnya
menjadi perhatian kita. Karena ternyata kitalah subjek utama dalam hal
perusakan lingkungan hidup kita sendiri. Populasi primata di Indonesia
khususnya Owa, Siamang, dan Orangutan berada di ambang kepunahan. Banyak hal
yang menyebabkan kelangkaan pada hewan khususnya primata di Indonesia. Antara
lain karena adanya perburuan liar, perambahan hutan, pembukaan lahan untuk
perkebunan, pembukaan areal tambang yang tidak terkendali, dan perdagangan
illegal. Dalam kasus Orangutan misalnya. Perdagangan Orangutan (Pongo abelii ) masih kerap kali terjadi
meski sudah ada undang-undang yang melarangnya. Misalnya perdagangan Orangutan
dari Kalimantan Barat ke Sarawak, Malaysia. Biasanya pengiriman Orangutan ke
Malaysia dilakukan melalui perbatasan Bandau (Kapuas Hulu) dan Lubuk Antu
(Sarawak). Biasanya Orangutan yang diselundupkan masih bayi. Orangutan yang
berhasil diselundupkan tiap ekornya dijual seharga Rp 475 juta. Data WWF menyebutkan
pada tahun 2005 sedikitnya ada 15 ekor Orangutan yang diselundupkan ke
Malaysia. Diperkirakan, angka itu tiap tahunnya mengalami penurunan. Karena
penjagaan di daerah perbatasan juga semakin diperketat. Jenis orangutan yang
sering diperdagangkan antara lain Orangutan Sumatra dan Orangutan Kalimantan. Orangutan
Sumatra termasuk dalam kategori Critically
Endangered (sangat mungkin punah dalam waktu amat singkat) dan Orangutan
Kalimantan termasuk kategori Endangered (mungkin punah dalam waktu dekat, dan
jumlahnya lebih banyak dari status Critically Endangered). Orangutan Sumatra (Pongo abelii) adalah yang paling
terancam punah. Ia hidup di Pulau Sumatra bagian utara dan barat. Orangutan
Sumatra memiliki bulu wajah yang lebih panjang, bila dibandingkan dengan Orangutan
Kalimantan. Ia terancam punah karena hutan tempat tinggalnya dirusak untuk
perdagangan kayu dan perkebunan kelapa sawit. Jumlahnya kini sekitar 3.000
ekor.
Perdagangan Orangutan ini mungkin sekali menyebabkan punahnya hewan-hewan yang dilindungi. Karena biasanya hewan yang diselundupkan 95% merupakan hasil tangkapan dari alam bebas dan bukan hasil penangkaran. Bahkan lebih dari 20% hewan illegal yang dijual di pasaran , mati akibat sistem pengangkutan yang tidak layak. Oleh karenanya langkah yang diambil oleh pemerintah untuk mencegah kepunahan Orangutan antara lain memperbaiki hutan yang rusak atau menyediakan lahan untuk habitat dan melepaskan kembali orangutan ke alam bebas. Namun akan lebih baik jika penjagaan setiap kawasan diperketat untuk mencegah upaya perdagangan Orangutan. Sejak tahun 1942, Orangutan dinyatakan sebagai satwa dilindungi. Ketetapan itu dikuatkan kembali dengan adanya UU No. 5 tahun 1990. Perburuan dan perdagangan orangutan merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan bisa dihukum penjara maksimum 5 tahun dan denda 100 juta. Melihat terancamnya kehidupan primata, seharusnya kita mulai sadar untuk tidak lagi bertindak sewenang-wenang atas alam. Dimulai dari kitalah yang harus menghentikan tindakan merusak alam seperti menebang pohon secara illegal untuk eksploitasi, membakar hutan, membuka hutan untuk perkebunan, perdagangan hewan illegal, dan perburuan liar. Karena kita membutuhkan lingkungan untuk hidup secara seimbang demi hidup yang berkelanjutan tanpa perlu saling mengancam kehidupan yang lainnya.
Perdagangan Orangutan ini mungkin sekali menyebabkan punahnya hewan-hewan yang dilindungi. Karena biasanya hewan yang diselundupkan 95% merupakan hasil tangkapan dari alam bebas dan bukan hasil penangkaran. Bahkan lebih dari 20% hewan illegal yang dijual di pasaran , mati akibat sistem pengangkutan yang tidak layak. Oleh karenanya langkah yang diambil oleh pemerintah untuk mencegah kepunahan Orangutan antara lain memperbaiki hutan yang rusak atau menyediakan lahan untuk habitat dan melepaskan kembali orangutan ke alam bebas. Namun akan lebih baik jika penjagaan setiap kawasan diperketat untuk mencegah upaya perdagangan Orangutan. Sejak tahun 1942, Orangutan dinyatakan sebagai satwa dilindungi. Ketetapan itu dikuatkan kembali dengan adanya UU No. 5 tahun 1990. Perburuan dan perdagangan orangutan merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan bisa dihukum penjara maksimum 5 tahun dan denda 100 juta. Melihat terancamnya kehidupan primata, seharusnya kita mulai sadar untuk tidak lagi bertindak sewenang-wenang atas alam. Dimulai dari kitalah yang harus menghentikan tindakan merusak alam seperti menebang pohon secara illegal untuk eksploitasi, membakar hutan, membuka hutan untuk perkebunan, perdagangan hewan illegal, dan perburuan liar. Karena kita membutuhkan lingkungan untuk hidup secara seimbang demi hidup yang berkelanjutan tanpa perlu saling mengancam kehidupan yang lainnya.
I.2. Tujuan
1. Menginformasikan keadaan populasi orangutan
sumatera di kawasan Sumatera Utara
2.
Menginformasikan tentang hal – hal yang menyebabkan kelangkaan orangutan
sumatera di kawasan Sumatera Utara
3. Menginformasikan langkah – langkah
perlindungan yang harus diambil dalam rangka menjaga
kelestarian orangutan sumatera
I.3. Manfaat
1.
Memberikan informasi bagaimana keadaan populasi orangutan
sumatera di kawasan Sumatera Utara
2.
Memberikan informasi tentang hal – hal yang
menyebabkan kelangkaan orangutan sumatera di kawasan Sumatera
3.
Memberikan informasi tentang langkah perlindungan
orangutan sumatera untuk menjaga
kelestariannya.
BAB II
PEMBAHASAN
II. 1. Spesies Orangutan Sumatera ( Pongo abelii )
Orangutan sumatera adalah jenis orangutan
yang paling terancam diantara dua spesies orangutan yang ada di Indonesia.
Dibandingkan dengan saudaranya di borneo , orangutan sumatera mempunyai
perbedaan dalam hal fisik maupun perilaku. Spesies yang saat ini bisa ditemukan
di propinsi – propinsi bagian utara dan tengah sumatera ini kehilangan habitat
alaminya dengan cepat karena pembukaan hutan untuk perkebunan dan pemukiman,
serta pembalakan liar.
Terdapat 13 kantong populasi orangutan
di pulau sumatera. Dari jumlah tersebut, kemungkinan hanya tiga kantong
populasi yang memiliki sekitar 500 individu dan tujuh kantong populasi terdiri
dari 250 lebih individu. Enam dari tujuh populasi tersebut diperkirakan akan
kehilangan 10 – 15 % habitat mereka akibat penebangan hutan sehingga populasi
ini akan berkurang dengan cepat.
Menurut IUCN, selama 75 tahun
terakhir populasi orangutan sumatera telah mengalami penurunan sebanyak 80%.
Dalam kurun waktu 1998 dan 1999, laju kehilangan tersebut dilaporkan mencapai
sekitar 1000 orangutan per tahun dan terdapat di ekosistem leuser, salah satu
luasan hutan terbesar di bagian utara Sumatera, saat ini populasi orangutan
sumatera diperkirakan hanya tersisa sekitar 6.500 – an ekor ( rencana aksi dan
strategi konservasi orangutan, Dephut
2007 ) dan dalam IUCN red list edisi tahun 2002, orangutan sumatera di
kategorikan critically endangered atau
sudah sangat terancam punah.
Kebalikan dari orangutan borneo, orangutan
sumatera mempunyai kantung pipi yang panjang pada orangutan jantan. Panjang
tubuhnya sekitar 1,25 meter sampai 1,5 meter. Berat orangutan dewasa betina
berkisar sekitar 30 – 50 kilogram, sedangkan yang jantan sekitar 50 – 90
kilogram. Bulu – bulunya bewarna cokelat kemerahan.
Jantan
dewasa umumnya penyendiri sementara para betina sering dijumpai bersama anaknya
di hutan. Rata – rata setiap kelompok terdiri dari 1-2 orangutan dan kedua
jenis kelamin mempunyai daya jelajah sekitar 2 – 10 kilometer yang banyak
bertumpang tindih tergantung pada ketersediaan buah di hutan. Setelah disapih
pada umur 3,5 tahun, anak orangutan akan berangsur – angsur independen dari induknya setelah kelahiran anak yang
lebih kecil. Orangutan Sumatera betina mulai bereproduksi pada usia 10 – 11
tahun, dengan rata – rata usia reproduksi sekitar 15 tahun.
Orangutan
sumatera hanya terdapat di hutan pulau Sumatera (Rijksen dan Meijaard 1999).
Khususnya, populasi liar yang bertahan saat ini hanya di daerah barat laut
pulau itu tepatnya di provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Kedua provinsi ini
berlokasi di antara Samudera Hindia di sebelah barat hingga Selat Malaka yang
memisahkan daratan Sumatera dari Malaysia di bagian timur. Kedua negara ini
juga disekat oleh pegunungan Bukit Barisan yang berjejer di sepanjang pulau
Sumatera.
Saat
ini hampir semua orangutan sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara
dan Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling selatan sebarannya.
Hanya 2 populasi yang relatif kecil berada di sebelah barat daya danau, yaitu
Sarulla Timur dan hutan-hutan di Batang Toru Barat. Peta sebaran orangutan
sumatera yang merupakan kompilasi terkini (sumber: Wich, dkk draft). Populasi
orangutan terbesar di Sumatera dijumpai di Leuser Barat (2.508 individu) dan
Leuser Timur (1.052 individu), serta Rawa Singkil (1.500 individu). Populasi lain
yang diperkirakan potensial untuk bertahan dalam jangka panjang (viable)
terdapat di Batang Toru, Sumatera Utara, dengan ukuran sekitar 400 individu.
Data ukuran populasi orangutan di berbagai blok habitat di Sumatera
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkiraan Luas
Habitat dan jumlah orangutan di sumatera
No
|
Unit
Habitat
|
Perkiraan
Jumlah Orangutan
|
Blok
Habitat
|
Hutan
Primer (Km 2)
|
Habitat
Orangutan (Km 2)
|
1
|
Seulawah
|
43
|
Seulawah
|
103
|
85
|
2
|
Aceh Tengah Barat
|
103
|
Beutung
Inge
|
1297
352
|
261
10
|
3
|
Aceh Tengah Timur
|
337
|
Bandar - Serajadi
|
2117
|
555
|
4
|
Leuser Barat
|
2508
|
Dataran tinggi kluet
Gunung Leuser
|
1209
1261
|
934
594
|
5
|
Sidiangkat
|
134
|
Puncak Sidiangkat
|
303
|
186
|
6
|
Tripa Swamp
|
280
|
Rawa Tripa (Babahrot)
|
140
|
140
|
7
|
Trumon -
Singkil
|
1500
|
Rawa Trumon Singkil
|
725
|
725
|
8
|
Rawa Singkil
Timur
|
160
|
RawaSingkil Timur
|
80
|
80
|
9
|
Batang Toru
Barat
|
400
|
Batang Toru Barat
|
600
|
600
|
10
|
Sarulla Timur
|
150
|
Sarulla timur
|
375
|
375
|
Distribusi Geografis dan Variasi Kepadatan
Orangutan dapat hidup pada berbagai
tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah,
daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas
rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo orangutan dapat
ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan
kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada 1.000 m
dpl. Kepadatan orangutan, baik di Sumatera maupun di Kalimantan, menurun
drastis dengan bertambahnya ketinggian dari atas permukaan laut. Meskipun ada
laporan yang menyatakan individu jantan soliter Sumatera dapat ditemukan sampai
ketinggian 1.500 m dpl, sebagian besar populasi orangutan dijumpai jauh di
bawah ketinggian itu, yaitu di hutan rawa dan dataran rendah. Sayangnya,
tipe-tipe hutan itulah yang menjadi target utama pembangunan industri kehutanan
dan pertanian, sehingga tidak mengherankan jika konflik antara manusia dan
orangutan juga paling sering terjadi di sana.
Distribusi orangutan lebih
ditentukan oleh faktor ketersediaan pakan yang disukai daripada faktor iklim. Orangutan
termasuk satwa frugivora (pemakan buah), walaupun primata itu juga mengkonsumsi
daun, liana, kulit kayu, serangga, dan terkadang memakan tanah dan vertebrata
kecil. Hingga saat ini tercatat lebih dari 1.000 spesies tumbuhan, jamur dan
hewan kecil yang menjadi pakan orangutan. Kepadatan orangutan di Sumatera dan
Kalimantan bervariasi sesuai dengan ketersediaan pakan. Densitas paling tinggi
terdapat di daerah dataran banjir (flood-plain) dan hutan rawa gambut. Di
Borneo terdapat 4 lokasi yang memiliki densitas rata-rata 2,9 ± 0,5 individu
per Km2 . Sementara itu, di Sumatera terdapat 3 lokasi dengan densitas
rata-rata 6,2 ± 1,4 individu per Km2. Daerah alluvial merupakan daerah dengan densitas
tertinggi kedua, dengan 6 lokasi di Borneo yang memiliki rata-rata densitas 2,3
± 0,8 individu per Km2 , dan 3 lokasi di Sumatera dengan rata-rata densitas 3,9
± 1,4 individu per Km2. Di hutan perbukitan, orangutan ditemukan dalam densitas
yang jauh lebih rendah dibandingkan kedua tipe hutan yang telah disebutkan
sebelumnya (di Borneo rata-rata densitas 0,6 ± 0,4 individu per Km2 dan di Sumatera
rata-rata 1,6 ± 0,5 individu per Km2).
II.2. Ancaman dan hal – hal yang menyebabkan
kelangkaan Orangutan Sumatera
Pembukaan kawasan hutan merupakan
ancaman terbesar terhadap lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang
mendukung kehidupan di dalamnya. Selama periode tahun 1980-1990, hutan Indonesia
telah berkurang akibat konversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan
permukiman, kebakaran hutan, serta praktek pengusahaan hutan yang tidak
berkelanjutan. Pengembangan otonomi daerah dan penerapan desentralisasi
pengelolaan hutan pada 1998 juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab
peningkatan laju deforestasi di Indonesia. Pembangunan perkebunan dan izin
usaha pemanfaatan kayu yang dikeluarkan pemerintah daerah turut berdampak
terhadap upaya konservasi orangutan. Semenjak desentralisasi diimplementasikan
sepenuhnya pada tahun 2001, sebagian tanggungjawab pengelolaan kawasan hutan
diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemberian izin HPH 100 Hal yang terjadi pada
tahun 2001-2002 dengan pola tebang habis menyebabkan pengelolaan hutan semakin
sulit. Sementara itu perencanaan tata guna lahan seringkali tidak
mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dan konservasi sumberdaya alam. Ini
terlihat dari meningkatnya jumlah pengusahaan hutan dan izin konversi hutan. Perubahan
fungsi kawasan hutan menjadi area penggunaan lain (APL) yang dilakukan tanpa
mentaati peraturan perundangan yang berlaku berperan sangat besar terhadap
penyusutan populasi dan habitat orangutan. Perubahan penggunaan lahan umunya
tidak mempertimbangkan faktor ekologi dan konservasi. Pertemuan yang
diselenggarakan di Berastagi dan Pontianak telah mengidentifikasi berbagai
ancaman yang berpotensi meningkatkan risiko kepunahan orangutan di Sumatera dan
Kalimantan. Hasil dialog dengan berbagai pihak yang hadir di kedua pertemuan
tersebut juga menyepakati berbagai intervensi yang harus dilakukan untuk
menyelamatkan orangutan. Ringkasan jenis dan tingkatan ancaman yang
teridentifikasi oleh para pihak yang hadir di pertemuan Berastagi dan Pontianak
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Ancaman
Terhadap Orangutan Di Indonesia
No
|
Ancaman
|
Tingkat
Ancaman
|
Dampak
Utama
|
Kemungkinan
Pengelolaan
|
1
|
Tekanan Populasi Penduduk
|
Sedang
|
Degradasi Sumber Daya, Kepunahan
Spesies khususnya akibat perburuan, Peningkatan erosi, Gangguan siklus hidrologi
|
·
Mencegah
Migrasi Ke Taman Nasional
·
Membatasi
/ mengatur pemanfaatan sumber daya
·
Membuat
insentif untuk pindah keluar
·
Mengurangi
perambahan
|
2
|
Perubahan Landuse – tata guna lahan
|
Tinggi
|
Degradasi dan kerusakan sumber daya,
kepunahan spesies, kehilangan fungsi hutan
|
·
Melarang
perubahan lahan (landuse) yang jadi habitat orangutan
·
Penyediaan
alternative mata pencaharian
·
Mendorong
ada peraturan daerah yang mengakomodir tentang habitat orangutan, dengan
membangun kawasan konservasi daerah di APL
|
3
|
Kebakaran Hutan
|
Tinggi
|
Degradasi Habitat dan kematian
orangutan
|
·
Pendidikan
konservasi
·
Pencegahan
dan Penanggulangan kebakaran
·
Rescue dan translokasi
|
4.
|
Pertambangan
|
Sedang
|
Perubahan dan degradasi habitat
|
·
Mendorong
adanya aturan yang melarang pertambangan pada kawasan yang menjadi orangutan
|
5
|
Penegakan aturan yang lemah
|
Sedang
|
Penebangan hutan dan perburuan tinggi
|
·
Ada
forum yang akan memonitor kegiatan penegakan aturan
·
Ada
aturan dan kebijakan pengelolaan orangutan di luar kawasan konservasi
|
6
|
Penebangan hutan
|
Tinggi
|
Habitat orangutan berkurang, perubahan
vegetasi dan penurunan populasi
|
·
Menyusun
pedoman penerbangan di areal yang ada orangutan
·
Pengembangan
kawasan konservasi daerah
|
7
|
Perburuan / Perdagangan Illegal
|
Tinggi
|
Kepunahan spesies, perubahan struktur
komunitas
|
·
Melarang
perburuan
·
Patroli
pengamanan
·
Pendidikan
·
Penyediaan
alternatif ekonomi
·
Penegakan
aturan
|
Ancaman
Ancaman terhadap populasi orangutan
sumatera mencakup hilangnya habitat hutan menjadi perkebunan kelapa sawit,
pertambangan, pembukaan jalan, legal dan illegal loging, kebakaran hutan dan
perburuan.
Habitat
orangutan di sumatera menghilang dengan sangat cepat. Di sumatera utara,
diperkirakan tutupan hutan telah berkurang dari sekitar 3,1 juta hektar di
tahun 1985 menjadi 1,6 juta hektar pada tahun 2007. Sebaran orangutan di masa
yang lalu diperkirakan hingga ke sumatera barat. Tetapi saat ini sebaran orang
hutan di sebaran aslinya hanya terdapat di aceh dan sumatera utara, serta areal
reintroduksi orangutan di perbatasan jambi dan riau.
Sebuah
rencana untuk membangun jalan besar yang melalui ekosistem leuser dibagian
utara sumatera saat ini mengancam habitat orangutan. Jalan raya ini setidaknya
akan memotong ekosistem leuser di Sembilan tempat dan unit – unit habitat
tambahan orangutan di bagian utara yang lebih jauh. Diperkirakan jika jalan
raya tersebut dibuat melintasi kawasan hutan, penebangan liar pun akan semakin
meluas, biasanya diikuti dengan pembangunan pemukiman penduduk sehingga
meningkatkan ancaman terhadap habitat orangutan sumatera.
Meskipun
telah dilindungi oleh hokum di Indonesia sejak 1931, perdagangan liar
oranagutan untuk dijadikan hewan peliharaan merupakan salah satu ancaman
terbesar bagi satwa langka ini. Saat ini di beberapa lokasi di Sumatera Utara
dilaporkan telah terjadi konflik antara orangutan dengan manusia akibat adanya
pembukaan hutan alam untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di habitat atau
wilayah jelajah orangutan, akibat fatal biasanya menimpa orangutan.
a.
Kehilangan Hutan
Kecenderungan peningkatan deforestasi
akhir-akhir ini tidak khusus di Sumatra saja, tetapi juga diamati terjadi
dengan tingkat yang tinggi di seluruh Indonesia, dimana deforestasi tahunan
untuk periode 1990-2000 mencapai 1,75%, kemudian menurun untuk periode 2000-2005
menjadi 0,31% dan meningkat kembali pada periode 2005-2010 menjadi 0,71% (FAO
2010). Apabila hanya habitat orangutan yang paling penting diamati, yakni hutan
di bawah 1.000 m dpl, maka untuk periode 1985 - 2007 laju kehilangan bahkan
lebih tinggi yakni sebesar 28% dan 49%. Apabila hanya hutan yang paling kaya
spesies (di bawah 500 m dpl) yang diamati, maka kehilangan hutan antara 1985 dan
2007 adalah 36% untuk Aceh dan 61% untuk Sumatera Utara. Untuk rawa gambut yang
kaya karbon kehilangan hutan adalah 33% untuk Aceh dan 78% untuk Sumatera Utara
b.
Pembangunan
jalan
Pembangunan infrastruktur transportasi
di Sumatra, terutama jalan, dilihat oleh banyak orang di Indonesia sebagai
prasyarat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Saroso 2010), tetapi juga
salah satu ancaman paling serius terhadap habitat orangutan sumatera dan
kemandirian populasi liar yang tersisa. Pembuatan jalan baru membuka akses ke
daerah-daerah yang sebelumnya tidak dapat diakses dan mengarah pada perluasan aktivitas
manusia di sepanjang jalan itu. Dengan memfasilitasi pergerakan manusia ke
daerah baru, maka jalan itu langsung mengakibatkan kegiatan merusak seperti
perburuan, penebangan dan pembukaan lahan untuk pertanian. Hutan mengalami
fragmentasi dan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, dan karena itu spesies
seperti orangutan yang tinggal di dalam hutan tersebut
populasinya menjadi lebih kecil dan lebih kecil lagi sehingga tidak cukup
populasinya untuk bertahan dalam jangka panjang.
c.
Ekspansi
Perkebunan
Areal hutan dataran rendah, di mana sebagian
besar orangutan sumatera ditemukan, juga merupakan lahan yang sangat cocok untuk
pengembangan perkebunan, terutama untuk tanaman perkebunan seperti coklat,
kelapa sawit dan karet. Dari berbagai komoditas tersebut, perkembangan pesat
perkebunan kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir ini mungkin merupakan ancaman
tunggal terbesar bidang perkebunan terhadap kelangsungan hidup orangutan karena
ekspansinya yang cepat (Dros 2003; Koh dan Wilcove 2007; Murdiyarso et al.
2010). Pembentukan banyak perkebunan telah mengakibatkan kerugian yang
signifikan pada habitat orangutan, karena dalam pengembangannya ditempuh melalui
konversi hutan dan bukan dengan memanfaatkan lahan yang telah mengalami
deforestasi, seperti dengan memanfaatkan lahan perkebunan yang sudah ada atau
menggunakan lahan yang saat ini bernilai rendah.
d.
Perburuan,
penangkapan dan perdagangan orang utan untuk hewan peliharaan
Ketika orangutan pergi ke daerah
pemukiman penduduk untuk mencari makanan dari tumbuh – tumbuhan di sekitar
pemukiman penduduk, maka orang utan tersebut akan diburu dan ditangkap oleh
masyarakat sekitar, sementara untuk orangutan yang masih kecil akan
diperdagangkan dan dijadikan hewan peliharaan, selain itu perburuan orangutan
untuk dimakan merupakan hal biasa yang dilakukan.
II. 3. Upaya Konservasi Dan Perlindungan
Orangutan Sumatera
Penyelamatan (rescue), rehabilitasi, dan
reintroduksi
Peluasan kawasan pertanian,
perkebunan, industri, pertambangan dan pemukiman tentu saja berdampak pada semakin
sempitnya tempat hidup dan ruang gerak orangutan di habitat alaminya. Tidak
mengherankan jika tingkat kejadian konflik antara manusia dan orangutan di
berbagai lokasi di Sumatera dan Kalimantan meningkat drastis selama beberapa
tahun terakhir ini. Sampai 2007 terdapat sekitar 1.200 orangutan Kalimantan di
tiga (3) pusat rehabilitasi orangutan di Kalimantan, yaitu Wanariset-Samboja di
Kalimantan Timur, serta Nyaru Menteng (Palangka Raya) dan Pasir Panjang
(Pangkalan Bun) di Kalimantan Tengah. Selain di Kalimantan, terdapat sekitar 16
orangutan sumatera di pusat karantina Batu Mbelin, Sibolangit, Sumatera Utara.
Besarnya jumlah orangutan yang berada di pusatpusat rehabiltasi menunjukkan
bahwa ancaman perburuan, perdagangan, konversi lahan, kepemilikan illegal orangutan
masih sangat besar.
Salah satu langkah yang dapat
diambil untuk mengurangi konflik adalah dengan merelokasi orangutan ke lokasi baru
yang diperkirakan lebih aman dan mempunyai daya dukung yang cukup untuk
menjamin keberlangsungan populasi orangutan di tempat itu. Relokasi memerlukan
biaya tidak sedikit, yang meliputi tindakan penyelamatan di lokasi konflik
(rescue), proses rehabilitasi, pencarian lokasi baru, dan pemindahan orangutan ke
tempat baru (reintroduksi). Untuk itu, diperlukan kerjasama dari semua pihak
yang terlibat untuk mengatasi persoalan konflik. Hal terpenting yang perlu
dipahami dan disadari adalah, bahwa konflik dapat dihindari dan dicegah dengan
pengelolaan kawasan yang memperhatikan unsur ekologi dan tingkah laku orangutan.
Melalui pengelolaan yang tepat, seperti sistem zonasi yang dibatasi penghalang
alami, pembuatan koridor, dan pengayaan habitat, para pihak dapat menjadikan
relokasi sebagai pilihan terakhir dalam upaya mereka meredakan konflik dengan
orangutan. Untuk mengetahui lebih lanjut tindakan yang perlu diambil oleh para pengelola
kawasan (pemerintah daerah, HPH, HTI, perkebunan dan pertambangan) di lokasi
konflik, Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Penanggulangan Konflik
dapat dijadikan acuan.
Sebagian besar orangutan yang berada
pada pusat rehabilitasi berasal dari proses penyitaan yang dilakukan Balai
Konservasi dan Sumberdaya Alam (BKSDA) terhadap masyarakat yang memelihara dan
memperjualbelikan satwa itu. Selain itu, dengan meningkatnya konflik yang
terjadi semakin banyak pula orangutan yang diselamatkan dari lokasi konflik dan
ditempatkan di pusat rehabilitasi. Sebagian kecil lainnya berasal dari masyarakat
yang menyerahkan secara sukarela orangutan peliharaannya, setelah mereka
mengetahui bahwa kepemilikan satwa liar yang dilindungi itu merupakan tindakan
melanggar hukum, selain berpotensi menjadi sumber penyakit bagi keluarga.
IUCN Guidelines for the Placement of
Confiscated Animals merekomendasikan tiga pilihan yang dapat diterapkan
terhadap orangutan hasil penyitaan atau hasil proses rescue dari daerah konflik.
Pilihan terbaik adalah dengan mengembalikan orangutan ke habitat alaminya atau
reintroduksi, setelah satwa tersebut melewati proses rehabilitasi untuk
memulihkan kondisi fisik dan tingkah lakunya. Rehabiltasi menjadi proses yang
sangat penting mengingat banyak orangutan hasil penyitaan dan penyelamatan
menderita berbagai penyakit menular, seperti hepatitis B dan tuberkulosis
(TBC), yang dapat berdampak buruk bagi populasi liar lainnya. Akan tetapi,
program rehabilitasi memerlukan biaya yang besar dan bukan menjadi pilihan yang
berkelanjutan untuk jangka panjang. Oleh karenanya, program penyadartahuan dan
penegakan hukum tetap merupakan upaya preventif terpenting dalam konservasi
orangutan. Pilihan lain yang direkomendasikan oleh IUCN adalah melakukan euthanasia
terhadap orangutan hasil penyelamatan dan penyitaan yang diketahui menderita
penyakit TBC akut yang tidak dapat disembuhkan. Rekomendasi itu dikeluarkan
oleh The Veterinary Working Group dan the Rehabilitation and Reintroduction Group
pada Orangutan Conservation and Reintroduction Workshop tahun 2002 sebagai
pilihan untuk mengurangi risiko penularan penyakit kepada populasi orangutan
yang sehat dan manusia yang terlibat di dalam program rehabilitasi. Tentu saja,
euthanasia harus dilakukan dengan mempertimbangkan rasa sakit, penderitaan dan
menurunnya kualitas hidup orangutan, serta setelah semua alternatif lain diputuskan
tidak dapat dijalankan.
Konservasi eksitu
Jumlah orangutan yang berada di
kebun binatang atau taman margasatwa dan taman safari di Indonesia pada tahun
2006 sebanyak 203 individu (Laporan Seksi Lembaga Konservasi, 2007). Standar
operasional minimum untuk kebun binatang (zoo minimum operating standards) di
Indonesia telah ada dan menjadi keharusan bagi anggota PKBSI (Perhimpunan Kebun
Binatang Se-Indonesia) untuk ditaati. Tetapi proses monitoring dan evaluasi
terhadap kebun binatang belum berjalan baik menyebabkan banyak anak orangutan
yang dilahirkan di sana tidak mencapai usia dewasa. Kebun binatang dan taman
safari di Indonesia diharapkan bisa lebih berperan dalam konservasi orangutan, dengan
lebih meningkatkan program pendidikan dan penyadartahuan masyarakat dan tidak
berorientasi bisnis semata. Selain itu, praktik pemeliharaan (husbandry) di
seluruh kebun binatang yang ada di Indonesia perlu ditingkatkan dan dievaluasi
secara teratur oleh PKBSI dengan melibatkan para ahli untuk menjamin kualitas pelaporan
dan transparansi.
Laporan dari International Studbook
of Orangutan in World Zoos (2002) mencatat 379 orangutan borneo, 298 orangutan
sumatera, 174 orangutan hibrid, dan 18 orangutan yang tidak diketahui atau
tidak jelas asal-usulnya dipelihara di berbagai kebun binatang seluruh dunia. Perlu
dicatat bahwa jumlah itu hanya berasal dari kebun binatang yang memenuhi
permintaan data dari pemegang studbook yang ditunjuk, sehingga ada sejumlah orangutan
lainnya tidak tercatat dan diketahui pasti jumlahnya. Selain membuat kebijakan
yang mengatur pengelolaan populasi orangutan di kebun binatang dan taman safari,
pemerintah juga sebaiknya mengembangkan sistem pendataan nasional yang
diperlukan untuk memantau keberadaan populasi orangutan di berbagai kebun
binatang dan taman safari di Indonesia.
Meningkatkan pelaksanaan konservasi insitu
sebagai kegiatan utama penyelamatan orangutan di habitat aslinya
Konservasi insitu merupakan kegiatan
pelestarian orangutan di habitat aslinya. Strategi bertujuan agar semua pemangku
kepentingan bekerjasama memantau pengelolaan konservasi orangutan dan
habitatnya. Pemantapan kawasan, pengembangan koridor, realokasi kawasan
budidaya non kehutanan (KBNK) menjadi areal konservasi merupakan beberapa
aktivitas yang bisa dilakukan untuk penyelamatan orangutan di habitatnya.
Perlindungan habitat menjadi dasar utama bagi pengelolaan konservasi insitu
orangutan. Salah satu penyebab hilangnya habitat orangutan adalah perencanaan
tata ruang yang kurang baik. Program konservasi orangutan membutuhkan kawasan
hutan yang ada saat ini tetap sebagai kawasan hutan dan tidak dikonversi untuk
penggunaan lain. Ini akan sangat membantu mengurangi tekanan kepada orangutan
yang populasinya sudah sangat terancam punah (orangutan sumatera) dan terancam
punah (orangutan kalimantan). Alokasi hutan sebagai habitat bisa dilakukan pada
tingkat tata ruang kabupaten, propinsi maupun di tingkat nasional. Pemangku
kepentingan dalam penyusunan tata ruang di tingkat kabupaten dan propinsi
seharusnya mengalokasikan ruang untuk habitat orangutan. Habitat orangutan
djumpai di kawasan konservasi, hutan produksi, hutan lindung dan juga di
kawasan budidaya non kehutanan. Penelitian menunjukkan bahwa 75% dari orangutan
liar dijumpai di luar kawasan konservasi, kebanyakan di kawasan hutan produksi
yang dikelola oleh HPH/HTI dan atau hutan lindung. Orangutan akan bisa bertahan
hidup di areal kerja HPH yang dikelola dengan baik, tetapi tidak begitu banyak
yang dapat bertahan pada daerah hutan tanaman. Disamping itu, habitat orangutan
juga banyak yang berada pada kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) dimana
kawasan ini relatif lebih mudah untuk dikonversi ke penggunaan lain, seperti
perkebunan, pemukiman dan lainnya. Oleh karena itu, dunia usaha juga harus dilibatkan
dalam upaya pengelolaan konservasi orangutan sehingga dampak akibat pembangunan
baik di sector kehutanan maupun di luar kehutanan terhadap orangutan dapat
diminimalisir.
Translokasi
Pada kondisi dimana aktivitas
ekonomi menyebabkan terjadinya pengrusakan habitat dan orangutan tidak bisa
pindah atau menyelamatkan diri dari proses pembangunan tersebut maka
translokasi menjadi pilihan terakhir. Pilihan ini akan diambil bila pilihan
lain untuk mempertahankan orangutan di habitatnya sudah tidak bisa dilakukan
lagi. Untuk menghindari ini terjadi, akan lebih efisien jika survei tentang
satwa langka, jarang dan dilindungi dilakukan dengan baik sebelum melakukan
pembangunan sehingga aktivitas translokasi tidak perlu dilakukan.
Translokasi merupakan proses
pemindahan orangutan liar sehat dari habitatnya yang rusak ke habitatnya yang
baru, yang lebih aman dan lebih baik. Habitat baru ini diharapkan akan dapat
mendukung hidupnya dalam jangka panjang. Translokasi memerlukan biaya tinggi
dan untuk itu dibutuhkan adanya aturan yang menjelaskan persoalan biaya terkait
translokasi. Banyaknya konversi habitat (hutan) untuk peruntukan lain menjadi
penyebab banyaknya orangutan yang ditangkap oleh masyarakat. Pada banyak kasus,
satwa-satwa ini dapat disebut sebagai “pengungsi”, karena habitat mereka memang
sudah tidak ada lagi. Selain akibat konversi lahan, kebakaran hutan juga
menjadi penyebab penting adanya orangutan “pengungsi”. Orangutan “pengungsi”
harus diselamatkan (rescued) ke pusat rehabilitasi serta secepatnya di
translokasi ke habitat yang masih baik. Namun hal ini bukan merupakan
penyelesaian masalah jangka panjang pada konservasi orangutan. Kedepannya,
perlindungan habitat harus menjadi prioritas dalam konservasi orangutan.
Mengembangkan dan mendorong terciptanya kawasan
konservasi daerah berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, tata ruang
wilayah, status hukum dan kearifan masyarakat
Salah satu undang-undang yang sangat
penting dalam perlindungan spesies, termasuk orangutan adalah Undang-undang No.
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, termasuk
turunannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa Liar dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Tumbuhan dan Satwa Liar. Selain itu, undang-udang lain yang juga sangat penting
terkait dengan perlindungan habitat orangutan adalah UU No 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Habitat orangutan berada di kawasan konservasi, kawasan
hutan produksi dan kawasan budidaya non kehutanan. Perlu ada dorongan kebijakan
di semua level untuk mendukung pelestarian orangutan di habitat alami. Dorongan
kebijakan yang sudah mengadopsi kekhasan daerah antara lain adalah mewujudkan
adanya kawasan konservasi daerah pada kawasan KBNK. Pola ini diharapkan sudah
memenuhi unsur kekhasan, kearifan lokal, faktor ekologi dalam penataan ruang
mikro dan peran serta dukungan pemerintah daerah atau masyarakat. Kebijakan ini
juga menjadi bukti peran dan dukungan pemerintah daerah dalam konservasi orangutan.
Kawasan konservasi juga perlu kepastian hukum, untuk itu perlu ada penguatan
secara legal. Kepastian ini akan mempermudah implementasi pengelolaan habitat
dan spesies sesuai dengan rencana aksi, khususnya penegakan aturan konservasi.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Orangutan Sumatera merupakan satu spesies
tersendiri yang dikenal sebagai Pongo abelii, sedangkan Orangutan Kalimantan
terbagi menjadi 3 sub-spesies yaitu Pongo pygmaeus-pygmaeus, Pongo pygmaeus
wurmbi, dan Pongo pygmaeus morio.
2.
Orangutan Sumatera merupakan salah satu spesies
yang masuk dalam kategori terancam punah (critically endangered).
3.
Orangutan Sumatera saat
ini hanya dapat dijumpai secara alami di bagian utara Pulau Sumatera, meskipun
saat ini sedang dilakukan upaya reintroduksi orangutan Sumatera di Jambi. Sedangkan
orangutan Kalimantan tersebar di seluruh pulau Kalimantan
4.
Terdapat 13 kantong populasi orangutan di pulau
sumatera. Dari jumlah tersebut, kemungkinan hanya tiga kantong populasi yang
memiliki sekitar 500 individu dan tujuh kantong populasi terdiri dari 250 lebih
individu. Enam dari tujuh populasi tersebut diperkirakan akan kehilangan 10 –
15 % habitat mereka akibat penebangan hutan sehingga populasi ini akan
berkurang dengan cepat.
5. Saat
ini hampir semua orangutan sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara
dan Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling selatan sebarannya.
Hanya 2 populasi yang relatif kecil berada di sebelah barat daya danau, yaitu
Sarulla Timur dan hutan-hutan di Batang Toru Barat
6. Penyebab
kelangkaan dari orangutan sumatera antara lain : kehilangan hutan, pembangunan
jalan, ekspansi perkebunan, perburuan liar dan penangkapan oleh penduduk
sekitar dengan tujuan pemeliharaan pribadi.
7.
Langkah konservasi yang dilakukan
antara lain : Penyelamatan (rescue), rehabilitasi, dan reintroduksi, konservasi eksitu
dan insitu, translokasi dan penegakan hukum.